Killing Party

tempat saya membackup ide dalam kepala

Thursday, December 25, 2008

metode penalaran induktif dan deduktif : bagaimana cara mengambil kesimpulan yang taat asas

kemarin hari tidak sengaja berkunjung ke sebuah blog bagus, yang pasti dihasilkan dari otak yang bagus, dimana saya kritik cara penalaran yang dipakai olehnya dengan cara pengandaian. ada kelemahan mendasar dari penalaran yang ia gunakan, yang saya rasa ia menggunakan cara induktif untuk menyimpulkan suatu masalah. dan kesimpulannya hendak diaplikasikan kepada kasus lain.

penalaran induktif adalah penalaran yang mengambil contoh-contoh khusus yang khas untuk kemudian diambil kesimpulan yang lebih umum. penalaran ini memudahkan untuk memetakan suatu masalah sehingga dapat dipakai dalam masalah lain yang serupa. catatan bagaimana penalaran induktif ini bekerja adalah, meski premis-premis yang diangkat benar dan cara penarikan kesimpulannya sah, kesimpulannya belum tentu benar. tapi kesimpulan tersebut mempunyai peluang untuk benar. (1)

contoh penalaran induktif adalah :
kerbau punya mata. anjing punya mata. kucing punya mata
:. setiap hewan punya mata

penalaran induktif membutuhkan banyak sampel untuk mempertinggi tingkat ketelitian premis yang diangkat. untuk itu penalaran induktif erat dengan pengumpulan data dan statistik. (2)

kembali ke blog yang bagus yang telah disebutkan di atas, meski ia tidak menyimpulkan apapun secara eksplisit dari kasus yang diangkatnya, tetapi arah dari penalarannya jelas buat saya (?), premisnya adalah karena penangkapan dan penyiksaanlah zawahiri menjadi seorang teroris radikal. dan kesimpulan yang ditarik adalah seseorang baik2 (yang lurus karena background keluarga yang baik) akan berpeluang besar menjadi radikal jika ditangkap dan disiksa.

penalaran induktif ini mengangkat 1 kasus untuk ditarik dalam kesimpulan umumnya. contohnya kurang banyak. dan meski penalaran induktif sudah kuat dengan contoh yang banyak, kesimpulan induktif yang dihasilkan pun masih bisa dipertanyakan keabsahannya. sementara lebih jauh, penulis blog ingin tahu apakah kesimpulan tersebut berlaku jika diaplikasikan kepada pihak lain, dalam hal ini kepada ulil.

memang semangat dari post blog tersebut mengajak untuk empati dan melihat sesuatu jangan dari luarnya saja, kita harus pelajari latar belakang dari sebuah kasus. tapi yang menjadi minat saya adalah memang bagaimana cara dia menarik kesimpulan dari contoh kasus yang diangkat.
alasan ia untuk mengajak empati tersebut kurang kuat buat saya, sehingga ajakannya pun bisa gugur.

berbeda dengan penalaran induktif, penalaran deduktif adalah menarik kesimpulan khusus dari premis yang lebih umum. jika premis benar dan cara penarikan kesimpulannya sah, maka dapat dipastikan hasil kesimpulannya benar. jika penalaran induktif erat kaitannya dengan statistika, maka penalaran deduktif erat dengan matematika khususnya matematika logika dan teori himpunan dan bilangan. contoh penalaran deduktif adalah :

- semua hewan punya mata
- anjing termasuk hewan
:. anjing punya mata

* * *

dan akhirnya saya keluar dari konteks bahasan di atas, untuk kata 'andaikata', sebuah kata yang membangkitkan imajinasi liar, yang tidak ada benar/salah, sepakat/tidak-sepakat untuk jawaban yang di hasilkan, saya tidak pernah mengapresiasikannya untuk berwacana dalam sebuah diskusi. tapi dipikir2 kata tersebut saya rasa cocok untuk mencari inspirasi di bidang seni dan kreativitas..

pustaka :
1. Bakhtiar, Amsal, Prof. Dr. , Filsafat Ilmu, Rajawali Press, Jakarta, 2004
2. ibid

7 Comments:

Blogger andri akbar said...

hmm... tapi lupa juga saya, bahwa einstein menemukan teori jeniusnya (meski otak saya tidak menangkap rasa kejiniusannya) dari bermain2 andaikata...

open for discussion.

Dec 25, 2008, 8:29:00 PM  
Anonymous Anonymous said...

Kedua penalaran ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing2. Penalaran deduktif misalnya, ia lemah karena hanya memberikan atribut rasional semata, belum lagi mesti diuji secara empirik. Begitu juga penalaran induktif---yang mana ini juga baru saya sadari---hanya mengajukan pembenaran dengan landasan fakta empirik semata. Dan sialnya, keduanya masih bersifat hipotesis (note: tentu kita tak akan mengabaikan bahwa hipotesis yang diterima hanyalah hipotesis yang didukung oleh fakta2 empirik, correct me if i wrong).
.
Nah, Mas, sekarang, bagaimana kalau kita mendiskusikan saja bagaimana mengkolaborasikan kedua penalaran ini agar konklusi yang ditarik bisa lebih rasional sekaligus kuat dari sisi empirisnya.
.
Last, in other hand, jujur, senang sekali saya mendapat feedback seperti ini. Daripada saling "perang" argumen di kolom komentar, memang lebih baik menuliskan keseluruhan pandangan pada post khusus di blog sendiri sembari menautkannya pada tulisan yang dituju. Sehingga budaya "perang-pena" bisa hidup kembali.
.
salam hangat,
aris

Dec 26, 2008, 3:26:00 AM  
Anonymous Anonymous said...

kalo saya menguji kesimpulan terutama yang diambil dengan cara deduksi, tinggal cari 1 contoh empirik anti dari premis yang diangkat.. jika sepanjang pengetahuan saya tidak menemukannya, saya tidak perduli dan ngutak2ik kesimpulannya karena pasti benar (dan jika cara pengambilan kesimpulannya juga taat azas)

sementara karena sifat (sok) skeptis saya, hasil penarikan kesimpulan dengan cara induksi yang dikatakan belum tentu benar, ya selama itu juga tidak 100% saya percayai kesimpulannya...seperti hasil rating, jargon2 politik (rakyat masih menginginkan sby jadi presiden) dsb.

tapi masing2 punya sifatnya sendiri2 yang tepat digunakan di tiap kasus saya rasa. dan sebenarnya saya juga menggunakannya sesuai kebutuhan saya ;) pakai takaran yang pas saja

cara paling aman saya yang selama ini pakai (baik cara induksi maupun deduksi) adalah mengambil premis/kesimpulan 'sementara' dari para ahli (via buku, internet), dan saya aplikasikan dan tarik ke sifat khas yang saya temui. ada keuntungannya secara ekonomis buat saya : bahwa pemikiran ahli/akademisi ini saya percayai didukung dengan data yang memadai, metodologi yang jauh lebih baik daripada jika saya buat sendiri, dedikasi sang ahli akan bidang itu lebih baik daripada saya, dan yang terpenting banyak mata (terutama dari para ahli jg) yang melihat dan mengkritisinya, sehingga mudah untuk memantau nilai presisi kebenarannya sepanjang waktu. dan mudah untuk kita mutakhirkan kesimpulan kita untuk kasus khas yang kita temui tsb, sesuai dengan pemikiran terkini akan hal tersebut.

Dec 27, 2008, 10:12:00 AM  
Anonymous Anonymous said...

phew! untung blog gwa isinya asal2an!

Feb 16, 2009, 11:14:00 PM  
Blogger sherlock arhiest said...

saya rasa deduktif lbih kuat dari induktif.. hanya saja kdua penanalran ini dapt digunakan tergantung dari kondisi..

sepeti sherlock holmes... dya menggunakn penalaran deduktif terlebih dahulu.. karena dya merasa hal tu lbih praktis dan kuat.. setelh itu dia menghasilkan premis-premis hasi dari pengujian atau pembuktiannya secara empiris..
dya juga menggunakan penalaran dan menarik kesimpulan secara induktif apa bila deduktif dirasa tak cukup untuk menyelesaikan kasusnya..

bila ingin tau klo deduksi praktis itu mengagumkan bacalah sherlock holmes..
smua ini tidaklah harus rasional.. klo kita perhatikan sesunggunya hal yg paling rumit itu justru datng dari hal yg mudah..

Jan 30, 2010, 1:32:00 PM  
Blogger andri akbar said...

arheist,

sherlock holmes hebat karena,
sherlock holmes menggunakan penalaran deduktif

:. penalaran deduktif (terbukti lebih) hebat

salam untuk watson

Feb 1, 2010, 10:02:00 AM  
Blogger sherlock arhiest said...

saya masih klas 2 sma om.. hehe..^^

Feb 17, 2010, 9:38:00 PM  

Post a Comment

<< Home